MALAM

Sunset
Mungkin sudah takdir bahwa kita hanyalah dua orang pejalan yang tersesat di sebuah kota asing. Dalam lelah yang tak terkira setelah berjalan menempuah ratusan kilometer, kamu singgah pada satu-satunya bar di kota yang berpenduduk puluhan ribu orang ini.
Kamu terpesona pada sesosok perempuan, yang duduk termangu di sudut bar dikeremangan cahaya lilin. Dalam hening malam; ketika pada akhirnya kamu dan perempuan itu duduk berhadapan meski tanpa ada satu kata pun terucap, kamu tahu bahwa kamu temukan sebagian dari dirimu yang selama ini coba disangkal keberadaannya : gairah menggebu yang harusnya mengalir dalam darah setiap manusia. Di wajahnya, kamu temukan berbagai bentuk ekspresi yang mungkin dipunyai oleh seorang manusia: ketika batas antara tangis dan tawa telah lebur; ketika sendu dan gairah dapat terlihat jelas di sinar matanya pada saat yang bersamaan; ketika marah dapat berubah menjadi penyesalan hanya dalam hitungan detik. Malam itu, tiga tubuh telah terhianati ketika jiwamu dan jiwa perempuan itu bercakap-cakap seperti kobaran api yang menerangi dan menghangatkan dinginnya malam. Aku (perempuan itu) seperti menemukan jalan pulang ketika melihat caramu membakar tembakau.
Lima hari enam malam kita mencumbu kota kecil berbatuan ini dalam persekutuan seperti inti atom dan electron. Kita bergerak dengan percepatan tanpa menyebabkan elektron jatuh dalam pelukan inti atom tapi tidak ada cukup energi untuk membuat elektron tereksitasi, keluar dari orbitnya. Kita seperti butiran pasir di tepi pantai yang bingung untuk memutuskan: pergi menjelajah lautan luas bersama ombak atau tetap menjadi butiran pasir yang setia menjaga pantai.
Tubuh kita mengikuti irama alam: siang berganti malam dan sebaliknya. Tapi tidak demikian dengan jiwa kita. Jiwa kita kunamakan senja, buah dari perselingkuhan siang dan malam, ketika batas antara siang dan malam tidak lagi jelas. Matahari mulai tenggelam dan bulan telah tampak meski sangat samar. Selalu ada aku, kamu, dan sosok tak terlihat tapi ada.
Siang hari kita adalah pejalan professional, meninggalkan jejak langkah kita di setiap sudut kota: di bukit yang mengepung kota ini; pada ingatan para penjual di pasar yang hanya ada satu kali dalam seminggu; pada orang-orang tua yang kita temui di jalan, yang mengeluh bahwa modernisasi telah menganaktirikan kota ini. Di siang hari, aku mengenal irama langkah kakimu; terpesona pada cara kamu menikmati makanan, yang dimataku tampak seperti para pendoa yang tekun; aku belajar bahwa kamu adalah orang yang memiliki kemampuan luar biasa mentransformasikan luapan emosi menjadi ekspresi ketidakpedulian. Aku menikmati saat ketika ceritaku mampu membuatmu tertawa lepas, mengoyak tabir ekspresi ketidakpedulianmu.
Tahukah kamu bahwa rahasia jiwamu diceritakan dalam sunyi oleh matamu tanpa pernah kuminta: aku memahami semua ragu, semua lelah, semua cemas, semua gairah yang kamu rasakan. Kamu marah ketika kukatan apa yang dilihat oleh mata hatiku tentang kamu. Kamu menyangkal semuanya dan memaksaku membayar penghianatan yang dilakukan matamu. Siang itu kita pilih jalan yang berbeda: kamu menemui masa lalu di museum yang memaparkan sejarah kota ini sementara aku memilih menikmati secangkir capucciono dan sepotong tiramisu sambil mengamati dan diamati orang-orang yang datang dan pergi silih berganti di sebuah kafe yang dikelola oleh sepasang suami-istri italia.
Kamu masih marah ketika kita bertemu malam itu meski lagi-lagi tubuh dan jiwamu menghianati logika yang kamu bangun dengan susah payah. Maaf, tapi tubuh dan jiwaku memahami bahasa tubuh dan jiwamu jauh lebih dalam dan lebih baik dari kesan yang ingin kamu sampaikan dalam kata-kata kasar dan kosong yang tersembur dari mulutmu. Aku memahami kamu, tapi tetap merasa terluka. Luka yang telah ciptakan dendam, yang ciptakan hasrat untuk melukaimu. Luka yang telah koyakkan egoku, luka yang membuatku meragukan diriku sendiri. Luka yang tidak dapat sembuh oleh sepotong kata maaf dari bibir tipismu. „Aku bisa memaafkanmu, tapi hanya waktu yang mampu membuatku melupakan yang kamu lakukan. Kamu membuatku seperti seekor ayam yang menyerahkan diri ke tangan penyembelihnya.“ Kamu berjanji untuk tidak melukaiku lagi, sebuah janji yang kuragukan sejak awal terkatakan.
Aku meragukan janjimu karena kamu menolak untuk menemukan dirimu sendiri. Kamu lari dari rasa yang ada diantara kita. Membuatku marah dan frustasi. Pada titik ini, kita berubah menjadi laba-laba. Berdua, kita rajut jaring yang tipis, transparan dengan kekuatan maha dahsyat. Meski kita berbaring bersisian, jaring yang kita bangun telah memisahkan tubuh dan jiwa kita ribuan kilometer. Ketika kerinduan kita memuncak, hanya ada dua pasang mata yang saling memandang dalam sedih dan tak berdaya. Tidak kutemukan lagi binar di matamu pun aku yakin tidak kamu temukan hal yang sama di mataku. Hanya ada dua kalimat setajam pisau yang keluar dari mulut kecilku. Tanya yang menusuk tepat di jantungmu menuntut jawab, „Siapa kamu sebenarnya? Bukalah topengmu.“
Pertanyaanku telah menciptakan sunyi berkepanjangan diantara kita. Sebuah sunyi yang menyiksaku sungguh. Ingin kuberlari memeluk tubuhmu tapi lagi-lagi aku terperangkap dalam jaring laba-laba yang kita ciptakan. Aku hanya mampu berteriak dalam mimpi yang mengganggu tidur malamku. „Kalau saja kamu mengakui semua rasa yang ada, segalanya akan lebih mudah. Penyangkalan-penyangkalanmu telah mendorongmu memperlakukanku secara kasar. Lalu lukaku telah membuatku tega melukaimu. Aku hanya ingin kamu mengakui bahwa rasa ini ada meski orang lain menyebutnya nista. Aku benci penyangkalan-penyangkalan yang coba kamu lakukan. Aku tahu, sosok lain yang kautemui jauh sebelum kamu singgah di kota ini akan selalu menjadi bagian dari siang dan malam yang kita lalui di sini. Menimbulkan rasa bersalah dalam dirimu dan dirku. Tapi cukupkah itu menjadi alasan untuk saling menyakiti hanya karena jiwa kita mampu untuk saling menyapa mesra penuh gairah?“
Pernahkah kamu bayangkan, betapa magisnya pemandangan sebuah kastil di malam sunyi kala bulan menampakan kesempurnaan bentuknya. Hanya ada bisikan angin menderu dan nafas memburu seorang musafir yang menahan dingin. Kamu dalam sendirimu menikmati segelas anggur di menara kastil itu dan aku adalah musafir yang berjalan sendiri dalam dingin malam melintasi satu-satunya kastil selebar 256.4 meter di kota yang telah mempertemukan kita. Itulah gambaran yang terlintas ketika kita saling berhadapan dalam diam, hanya mampu menatap nanar pada gelas bir yang telah kosong. Ketika rasa sakit yang tidak berbentuk ini tak tertahankan lagi dan memohon untuk dimuntahkan, aku hanya sanggup berkata lirih sambil menahan tangis,“Aku rindu senyummu“. „Tidak ada lagi senyumku. Aku telah mencurinya,“ jawabmu singkat.
Kuakhiri sunyi berkepanjangan itu ketika aku berhasil menyeretmu dalam langkah penuh keraguan untuk kembali ke bar yang mempertemukan kita. Aku ingin menyelesaikannya, membebaskan duri dalam daging. Ketika kurasa hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan tidur malamku, aku membuat keputusan malam itu. Dalam secarik kertas bekas, kutuliskan ini untuk jiwamu dan jiwaku: „Tidak perlu lagi kata-kata. Aku mengerti kamu.“
Kamu, sebuah malam yang harus sudah pudar sebab matahari telah siap menggantinya. Aku harus merasa cukup mengecapmu. Lima hari enam malam.
Karlsruhe, 14 November 2009.
Leave a Reply