Archive for November 2009
Matematika : Sejauh mana logika mampu menuntun manusia pada kebenaran?
Bagaimanakah realita dari sudut pandang seorang mahasiswa jurusan matematika yang percaya bahwa tidak ada satu pun fenomena yang terjadi secara kebetulan? Bahwa segala sesuatu terjadi berdasarkan sebuah model, sebuah skema yang mengikuti teori logika matematika? Seorang mahasiswa yang percaya bahwa esensi dari alam raya bersifat matematika, bahwa ada arti yang tersembunyi dibalik sebuah realita? Ia percaya bahwa untuk memahami rahasia dibalik realita sehari-hari, manusia perlu mengerti rahasia dibalik angka.
Deskripsi di atas adalah isi dari interupsi mahasiswa tersebut pada sebuah kuliah umum seorang profesor matematika bernama Arthur Seldom di universitas Oxford pada tahun 1993. Kuliah umum dibuka dengan sebuah film yang menggambarkan bagaimana di tengah desingan peluru Ludwig Wittgenstein menemukan ide yang tertulis dalam bukunya Tractacus Logico-Philosophicus. Sebuah buku yang mencoba mencari tahu, mungkinkah manusia mengetahui kebenaran? Wittgenstein kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada satu kebenaran pun di luar matematika, lebih tepatnya logika matematika yang mampu memberikan kepastian yang menihilkan perasaan manusia.
Profesor Seldom sebaliknya mempertanyakan keampuhan matematika untuk mengerti segala hal karena akan selalu ada batas tertentu yang tidak bisa ditembus, yang dalam bahasa fisikawan Heisenberg menjadi teori ketidakpastian. Betul bahwa manusia mencoba mengerti fenomena jatuhnya salju, bagaimana pertumbuhan salju mengikuti hukum alam atau bagaimana memahami keindahan dan harmoni dalam pola gerak kupu-kupu; tapi mampukan manusia memprediksi sebuah hurricane? Mampukah manusia memahami keindahan dan harmoni dalam sebuah sel kanker yang membelah diri sedemikian cepat untuk menghancurkan tubuh yang sehat? Haruskah hidup selalu memiliki arti? Bisakah segala sesuatu terjadi hanya karena kebetulan? Dalam usaha mencari arti hidup itu…. kebenarankah yang dicari ataukah ini adalah manifestasi dari ketakutan terdalam manusia? Adakah hukum alam yang mengatur keberadaan empat orang yang di masa datang akan saling berkaitan di sebuah jalan di Oxford hampir pada saat yang bersamaan?
Percakapan antara profesor dan mahasiswa tadi mengisi perdebatan yang mengasikan sepanjang film berjudul Oxford Murders yang dibintangi oleh Elijah Wood dan John Hurt. Mereka berdua ditantang untuk mengungkapan rangkaian pembunuhan yang terjadi di Oxford : mengikuti logika matematikah atau sekedar sebuah kebetulan belaka?
Saya menyukai dan suatu waktu dulu pernah terpesona pada matematika. Tapi saya sampai pada poin bahwa tidak segala sesuatu perlu dijelaskan dengan model pembuktian matematika yang ketat. Seringkali saya merasa bahwa dalam beberapa kasus matematika telah digunakan tidak pada tempatnya. Sejak dulu saya tidak percaya dan tidak mengerti (bukan karena hasil tes IQ yang berkisar pada angka 90) pada model tes IQ yang memberikan angka pada kemampuan intelejensia seseorang. Saya juga tidak percaya (tanpa bukti matematis) pada kecenderungan untuk melogiskan perilaku konsumen karena bagi saya dibalik interdependensi manusia dengan lingkungannya, masih tetap ada ego, ada sesuatu yang unik pada setiap individu yang tidak bisa diintervensi. Bukankah setidaknya ada dua kemungkinan untuk mengisi angka berikutnya dalam deret 2, 4, 8,….: bisa 16 atau 10? Kalau matematika pun memberikan kemungkinan yang berbeda, bukankah manusia adalah mahluk yang lebih kompleks untuk bisa dimengerti, untuk bisa diatur polanya? Pemodelan apa pun yang berkaitan dengan manusia menurut saya hanyalah sebuah usaha penyederhanaan, pencarian mayoritas yang tidak mengindahkan adanya minoritas. Kalau dalam matematika ada aksioma, yang bisa menerima kebenaran tanpa pembuktian, bisakah itu terjadi dalam hidup manusia sehari-hari?
Mengetahui sampai batas mana matematika diperlukan untuk menuntun pada kebenaran tidaklah mudah. Matematika selalu mencoba menerangkan segala sesuatu dalam sebuah fungsi, dengan angka. Dalam matematika, keberhasilan diukur dari kemampuan untuk memodelkan sebuah permasalahan secara logis; dalam hemat saya (yang bisa saja salah karena saya tidak mendalami matematika secara kusus) bahkan matematika mencoba mematematiskan hal yang tidak (atau belum?) terjangkau pemikiran dengan sebuah fungsi acak (random). Hal yang akhir-akhir ini malah membuat saya muak dan ingin berteriak : mengapa manusia tidak bisa menerima keadaan bahwa ada hal yang tidak bisa, tidak perlu atau pun tidak mungkin untuk dijelaskan dengan angka? Melenceng sedikit dari tema tentang matematika, bahasa jerman sebenarnya memberikan peluang untuk hal-hal yang tak perlu/tak ingin dijelaskan ini. Ketika saya bertanya mengapa “warum”, ada jawaban “darum” yang bisa diterjemahkan bebas sebagi “hanya karena”. Herannya, saya sering kehabisan kata-kata dan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal karena pada umumnya orang Jerman selalu bertanya “mengapa” bahkan untuk sesuatu yang saya tujukan untuk bercanda.
Bercermin pada diri sendiri, sepertinya akan sulit bagi orang yang terbiasa dengan metode matematis untuk menerima keadaan ‘beginilah adanya’ dalam kehidupan sehari-hari. Meski pun saya dapat menerima konsep bahwa ada hal-hal yang tidak perlu/tidak mungkin diketahui sebab-akibatnya, dalam kehidupan sehari-hari saya harus mengakui bahwa itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Saya baru menyadari bahwa keterpesonaan saya pada matematika telah mempengaruhi cara saya berpikir, cara saya bertindak dalam relasi personal saya dengan sekitar. Kadang ketika dihadapkan pada sebuah keputusan, saya secara tidak sadar telah membuat model ‘seandainya’. Bagaimana bila…., bila…,konsekuensinya…dan lain-lain. Saya selalu menuntut penjelasan sampai ke intinya, yang pada beberapa kasus mungkin tidak bisa dicapai karena begitu banyak faktor yang mempengaruhi suatu kejadian. Seperti ada adrenalin untuk terus..terus..menyingkap apa yang menurut saya sebagai kebenaran. Persis seperti karakter ilmu pengetahuan : Manusia tidak puas untuk mengerti tentang atom dan terus bergerak untuk mengetahui apa yang membentuk atom dan pada akhirnya mencoba mengungkap rahasia alam semesta. Ada suatu keasikan tersendiri dalam proses penelitian ilmu pengetahuan alam yang bisa membawa si peneliti begitu terhanyut dalam penelitian dan membuka kemungkinan untuk lupa pada konteks penelitian itu dengan kondisi sosialnya. Mungkin juga, ketika menyadari kondisi sosialnya, dia dihadapkan kepada sebuah ketidakberdayaan yang membuat frustasi. Di tempat saya bekerja, kami harus membayar 1 juta EURO per tahun hanya untuk membayar listrik. Berulangkali saya bertanya pada diri sendiri, apakah uang sebesar ini memang harga yang pantas untuk sebuah ilmu pengetahuan sementara di belahan dunia yang lain, masih ada kelaparan? Saya tidak bisa menjawabnya, mungkin karena periuk nasi saya ada di sini. Ini adalah salah satu contoh sederhana bahwa segala hal tentang manusia selalu ada bagian yang subjektif, tergantung kondisi personal dan sosial seseorang.
Kembali ke film di atas, di akhir cerita digambarkan bagaimana si mahasiswa hanya bisa menerawang ketika tanpa disadarinya justru kata-kata yang ke luar dari mulutnyalah yang memulai rangkaian peristiwa sepanjang film tersebut. Mungkin ini hanyalah ilustrasi dalam sebuah film, tapi bukankah ini benar : ketika kata-kata diucapkan, ketika kata-kata dituliskan dan kemudian didengar dan dibaca orang lain, kita tidak pernah tahu, tidak pernah bisa mengukur secara pasti bagaimana kata-kata ini akan mempengaruhi si pendengar, si pembaca? Dalam hal ini saya sangat yakin, bahwa matematika tidak perlu digunakan untuk mencari tahu, tetapi nikmati saja kejutan-kejutan yang mungkin terjadi. Saya berhayal, pada saat menjelang ajal-lah kebenaran tentang hidup baru bisa dipahami secara utuh.
Karlsruhe, ditulis tanggal 12 Juli 2009
(saat saya menulis artikel ini, saya sedang berperang dengan diri sendiri untuk berhenti bertanya tentang sesuatu dalam relasi personal saya dengan seseorang)
Selamat Akhir Pekan!
MALAM

Sunset
Mungkin sudah takdir bahwa kita hanyalah dua orang pejalan yang tersesat di sebuah kota asing. Dalam lelah yang tak terkira setelah berjalan menempuah ratusan kilometer, kamu singgah pada satu-satunya bar di kota yang berpenduduk puluhan ribu orang ini.
Kamu terpesona pada sesosok perempuan, yang duduk termangu di sudut bar dikeremangan cahaya lilin. Dalam hening malam; ketika pada akhirnya kamu dan perempuan itu duduk berhadapan meski tanpa ada satu kata pun terucap, kamu tahu bahwa kamu temukan sebagian dari dirimu yang selama ini coba disangkal keberadaannya : gairah menggebu yang harusnya mengalir dalam darah setiap manusia. Di wajahnya, kamu temukan berbagai bentuk ekspresi yang mungkin dipunyai oleh seorang manusia: ketika batas antara tangis dan tawa telah lebur; ketika sendu dan gairah dapat terlihat jelas di sinar matanya pada saat yang bersamaan; ketika marah dapat berubah menjadi penyesalan hanya dalam hitungan detik. Malam itu, tiga tubuh telah terhianati ketika jiwamu dan jiwa perempuan itu bercakap-cakap seperti kobaran api yang menerangi dan menghangatkan dinginnya malam. Aku (perempuan itu) seperti menemukan jalan pulang ketika melihat caramu membakar tembakau.
Lima hari enam malam kita mencumbu kota kecil berbatuan ini dalam persekutuan seperti inti atom dan electron. Kita bergerak dengan percepatan tanpa menyebabkan elektron jatuh dalam pelukan inti atom tapi tidak ada cukup energi untuk membuat elektron tereksitasi, keluar dari orbitnya. Kita seperti butiran pasir di tepi pantai yang bingung untuk memutuskan: pergi menjelajah lautan luas bersama ombak atau tetap menjadi butiran pasir yang setia menjaga pantai.
Tubuh kita mengikuti irama alam: siang berganti malam dan sebaliknya. Tapi tidak demikian dengan jiwa kita. Jiwa kita kunamakan senja, buah dari perselingkuhan siang dan malam, ketika batas antara siang dan malam tidak lagi jelas. Matahari mulai tenggelam dan bulan telah tampak meski sangat samar. Selalu ada aku, kamu, dan sosok tak terlihat tapi ada.
Siang hari kita adalah pejalan professional, meninggalkan jejak langkah kita di setiap sudut kota: di bukit yang mengepung kota ini; pada ingatan para penjual di pasar yang hanya ada satu kali dalam seminggu; pada orang-orang tua yang kita temui di jalan, yang mengeluh bahwa modernisasi telah menganaktirikan kota ini. Di siang hari, aku mengenal irama langkah kakimu; terpesona pada cara kamu menikmati makanan, yang dimataku tampak seperti para pendoa yang tekun; aku belajar bahwa kamu adalah orang yang memiliki kemampuan luar biasa mentransformasikan luapan emosi menjadi ekspresi ketidakpedulian. Aku menikmati saat ketika ceritaku mampu membuatmu tertawa lepas, mengoyak tabir ekspresi ketidakpedulianmu.
Tahukah kamu bahwa rahasia jiwamu diceritakan dalam sunyi oleh matamu tanpa pernah kuminta: aku memahami semua ragu, semua lelah, semua cemas, semua gairah yang kamu rasakan. Kamu marah ketika kukatan apa yang dilihat oleh mata hatiku tentang kamu. Kamu menyangkal semuanya dan memaksaku membayar penghianatan yang dilakukan matamu. Siang itu kita pilih jalan yang berbeda: kamu menemui masa lalu di museum yang memaparkan sejarah kota ini sementara aku memilih menikmati secangkir capucciono dan sepotong tiramisu sambil mengamati dan diamati orang-orang yang datang dan pergi silih berganti di sebuah kafe yang dikelola oleh sepasang suami-istri italia.
Kamu masih marah ketika kita bertemu malam itu meski lagi-lagi tubuh dan jiwamu menghianati logika yang kamu bangun dengan susah payah. Maaf, tapi tubuh dan jiwaku memahami bahasa tubuh dan jiwamu jauh lebih dalam dan lebih baik dari kesan yang ingin kamu sampaikan dalam kata-kata kasar dan kosong yang tersembur dari mulutmu. Aku memahami kamu, tapi tetap merasa terluka. Luka yang telah ciptakan dendam, yang ciptakan hasrat untuk melukaimu. Luka yang telah koyakkan egoku, luka yang membuatku meragukan diriku sendiri. Luka yang tidak dapat sembuh oleh sepotong kata maaf dari bibir tipismu. „Aku bisa memaafkanmu, tapi hanya waktu yang mampu membuatku melupakan yang kamu lakukan. Kamu membuatku seperti seekor ayam yang menyerahkan diri ke tangan penyembelihnya.“ Kamu berjanji untuk tidak melukaiku lagi, sebuah janji yang kuragukan sejak awal terkatakan.
Aku meragukan janjimu karena kamu menolak untuk menemukan dirimu sendiri. Kamu lari dari rasa yang ada diantara kita. Membuatku marah dan frustasi. Pada titik ini, kita berubah menjadi laba-laba. Berdua, kita rajut jaring yang tipis, transparan dengan kekuatan maha dahsyat. Meski kita berbaring bersisian, jaring yang kita bangun telah memisahkan tubuh dan jiwa kita ribuan kilometer. Ketika kerinduan kita memuncak, hanya ada dua pasang mata yang saling memandang dalam sedih dan tak berdaya. Tidak kutemukan lagi binar di matamu pun aku yakin tidak kamu temukan hal yang sama di mataku. Hanya ada dua kalimat setajam pisau yang keluar dari mulut kecilku. Tanya yang menusuk tepat di jantungmu menuntut jawab, „Siapa kamu sebenarnya? Bukalah topengmu.“
Pertanyaanku telah menciptakan sunyi berkepanjangan diantara kita. Sebuah sunyi yang menyiksaku sungguh. Ingin kuberlari memeluk tubuhmu tapi lagi-lagi aku terperangkap dalam jaring laba-laba yang kita ciptakan. Aku hanya mampu berteriak dalam mimpi yang mengganggu tidur malamku. „Kalau saja kamu mengakui semua rasa yang ada, segalanya akan lebih mudah. Penyangkalan-penyangkalanmu telah mendorongmu memperlakukanku secara kasar. Lalu lukaku telah membuatku tega melukaimu. Aku hanya ingin kamu mengakui bahwa rasa ini ada meski orang lain menyebutnya nista. Aku benci penyangkalan-penyangkalan yang coba kamu lakukan. Aku tahu, sosok lain yang kautemui jauh sebelum kamu singgah di kota ini akan selalu menjadi bagian dari siang dan malam yang kita lalui di sini. Menimbulkan rasa bersalah dalam dirimu dan dirku. Tapi cukupkah itu menjadi alasan untuk saling menyakiti hanya karena jiwa kita mampu untuk saling menyapa mesra penuh gairah?“
Pernahkah kamu bayangkan, betapa magisnya pemandangan sebuah kastil di malam sunyi kala bulan menampakan kesempurnaan bentuknya. Hanya ada bisikan angin menderu dan nafas memburu seorang musafir yang menahan dingin. Kamu dalam sendirimu menikmati segelas anggur di menara kastil itu dan aku adalah musafir yang berjalan sendiri dalam dingin malam melintasi satu-satunya kastil selebar 256.4 meter di kota yang telah mempertemukan kita. Itulah gambaran yang terlintas ketika kita saling berhadapan dalam diam, hanya mampu menatap nanar pada gelas bir yang telah kosong. Ketika rasa sakit yang tidak berbentuk ini tak tertahankan lagi dan memohon untuk dimuntahkan, aku hanya sanggup berkata lirih sambil menahan tangis,“Aku rindu senyummu“. „Tidak ada lagi senyumku. Aku telah mencurinya,“ jawabmu singkat.
Kuakhiri sunyi berkepanjangan itu ketika aku berhasil menyeretmu dalam langkah penuh keraguan untuk kembali ke bar yang mempertemukan kita. Aku ingin menyelesaikannya, membebaskan duri dalam daging. Ketika kurasa hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan tidur malamku, aku membuat keputusan malam itu. Dalam secarik kertas bekas, kutuliskan ini untuk jiwamu dan jiwaku: „Tidak perlu lagi kata-kata. Aku mengerti kamu.“
Kamu, sebuah malam yang harus sudah pudar sebab matahari telah siap menggantinya. Aku harus merasa cukup mengecapmu. Lima hari enam malam.
Karlsruhe, 14 November 2009.
NIGHT
Perhaps it is a destiny that we were only two lost travelers in the foreign city. Driven by the deep tired after hundreds kilometers of your journey, you decided to enter the only bar in the city with only thousands inhabitants.
From the very first of your step into this bar, you were hypnotized by the scene of a woman sitting at the corner of the bar. She was reading a book under the light of the candle. The night fell deeper when finally you and this woman sat face to face. Even though none of a single word was spoken, you knew that you found parts of your self that is always hidden in her: a wave of passion that should flow in every human’s blood. In her face, you could read any expressions that may exist in the world : when the border between laugh and tears are blurring; when melancholic and cheerful form a melodious song; when anger and regret complement each other. That night, three bodies were betrayed when your soul and mine chatted as if it was a flame of fire that illuminated and warmed up the night of winter. I (this woman) felt as if I found my own way went home by seeing the way you lighted up your tobacco.
Within six nights we chewed this small city with its narrow and stony streets. Our relations formed a nucleus-electron bonding: the electron never really fell into the arm of nucleus yet it never was available enough energy to excite electron, out of the nucleus’s orbit. We were like sands in the beach that confused to make decision: should we immerse into the ocean through the wave or should we stay in our safety circumstance to make sure that the beach is always there.
Our body followed the melody of the nature: day light turns to night and vice versa. But it was not the case with our soul. I gave a name to our soul: evening, a result of an affair between night and day light; when the line between day light and night is not so obvious. The sun is started to set down meanwhile the moon is only seen vague as a shadow. It always existed I, you and invisible entity having a name.
In day light, we were two professional travelers. We left behind our foot prints in every corner of the city: on the top of the hills that surround the city; in the memory of old people that we met who complained why the modernity left behind this city and transformed it to be merely an unknown spot in the map. In the day light, I learnt the rhytm of your foot step. I was tremble by the way you enjoyed your meals: in my eyes it was looked like a praying rabbi in monastery. I learnt that you are a guy who is able to hide perfectly your deepest emotion and transform it as an ignorant expression. I enjoyed the time when my stories made you laugh freely, ripped away your cold face.
Did you realize that your eyes told me the story of your soul even before I asked for? I understood all of your doubts, all of your tired, all of your anxiety, all of your passions. You got angry when I told you what were seen by the eyes of my heart through your eyes. You denied all of them and forced me to pay the betrayal of your eyes. That day, we choose different ways: you made a rendezvous with the past in the museum while I choose to enjoy a cup of cappuccino and a piece of tiramisu in the café owned by Italian couple. I observed and being observed by the people who passed by this café.
You were still angry when we met again that night even though again your body and soul betrayed the logic you built for long long period ago. Sorry, but both my body and soul understood the language of both your body and soul in such a deeper and better way than the impression you wanted me to remember behind your rude and empty words. I understood you, but I was still hurt. A pain that created anger, a pain that asked for the revenge. A pain that broke down my ego, a pain that made me looses my self confidence. A pain that was difficult to be cured by a word sorry from your sheer lip. You promise not to hurt me again, a promise that I doubt since it was spoken for the first time.
You can only keep your promise not to hurt me only and if only you found your self fully. It made me angry and frustration when you run away from the feeling that existed between us. At this point, we transformed our self into spiders. You and I united together to build a thin and transparent but powerful spider net. Even though we were lying side by side, the net that we built did our body and soul thousands of kilometers apart. When our souls were ready to explode, denying that we missed each other, only our eyes saw each other in the sad and powerless expression. I could not find the flame in your eyes yet I believed that you could not find the same flame shining out from my eyes. There were two sharp sentences, spoken out from my small mouth. It hit exactly your heart, full of demanding, “ I need to know who you are fully.”
My demand has created another long silent between us. A silent that drove me crazy. Many times I wanted to run to your arm but again the spider net reflected my body back to the place I was before. I was only able to scream in my dream that annoy my sleeping beauty,” If only you admitted all your feeling, everything would be easier. Your denial has driven you to treat me rudely. My wound gave me a gasoline to revenge. I just wanted you to admit the existence of our feeling even though other people call it a crime. I hate your denial. I know, there is another entity whom you met far before you arrived in the city where we finally met. I know this another entity would always be part of our days and nights here. It created a guilty in your soul and mine. But was it enough to be a reason to hurt each other just because our soul able to chat in full of passion?”
Have you ever imagined how magical it could be, a scene of a castle in the silent night, when the moon showed its full shape? There was only a whisper of wind and a breath of pilgrim in the coldest time in the winter’s night? You stood alone enjoying a glass of red wine in the tower of that castle and I was a pilgrim itself, crossing over the only castle of 256.4 m width in this city, our city. It was a picture that popped up my mind when once we sit face to face, SILENT. Both of us put our empty eyes to the empty glasses of beer as if those were the most artistic objects in the world. When the pain was unbearable anymore, I could only whisper a sentence while trying hard not to let my tears dropped, “I miss you…”. There was only a cold expression that i had no brave to interprete the meaning.
The long silent was ended up when I forced you to come to the same bar where we met for the first time. I wanted to finalize the things, gave freedom to my soul. When I felt that there was only one way to save my night sleep, I made a decision that night. Using a recycling paper, I wrote it for my soul, “ I don’t need your explanation anymore. I understood you fully. What I want is a peace. Let’s forgive each other. May be by forgetting the things that have happened is a good medicine. ”
You…, are a night that I could not keep in my arms anymore. I forced my self to feel enough in chewing you. Crossing over five day-lights and six nights. In the foreign city.
Karlsruhe, 14th November 2009